2010-02-27

Berubah

Di suatu hari sabtu pagi yang cerah (sorenya hujan) aku pergi melakukan ronda, keliling jadeta (jakarta, depok tangerang) ke tempat-tempat usaha milik ayah dam ibu. Dari tempat-tempat tersebut, aku mendapat jatah satu tempat yang hasilnya diserahkan kepadaku.

Dahulu ketika tempat usaha ini, yang hasilnya untuk aku, baru buka sepi sekali. Sempat kesal juga. Ini sih rugi di bensin, jauh tempatnya. Kayaknya setahun sekali dikontrol juga tidak masalah. Penjaga tempat usaha itu tidak tahu kalau tempat itu diserahkan kepada aku. Yang dia tahu aku hanya mengontrol saja. Sepertinya dia berpikir kasihan anak ini datang jauh-jauh tapi tempat usaha orang tuanya sepi, bingung nantinya hendak melaporkan apa.

Mungkin kekesalan itu bisa terlihat. Penjaga tempat usaha itu berkata, "Sabar aja, nanti rejeki juga datang." Dan betul, belakangan ada peningkatan, tidak besar tapi lumayanlah jadi tidak sia-sia jauh-jauh datang.

Buat aku itu sudah cukup. Tapi ternyata eh ternyata, si penjaga juga menyimpan rasa kekesalan. Mungkin karena sepi jadi tidak ada aktifitas, tiba-tiba dia berkata, "Iya nih, kok sepi terus." Loh kok sekarang doi yang ngedumel, padahal udah ada peningkatan. Santai aja kayak di pantai.


-fin-

Read More ..

2010-02-13

Seperti Halnya Tukang Roti

Orang Yahudi sama perlunya bagi kita, seperti halnya tukang roti.

Kata-kata itu berasal dari tahun 1519. Yang mengucapkannya seorang bangsawan Venesia, Marin Sanudo. Ia tampaknya mengakui suatu kenyataan — suatu yang juga dikisahkan Shakespeare dalam lakonnya yang kita kenal: orang Yahudi adalah tempat orang "pribumi" meminjam uang. Dan meminjam uang, biarpun dengan bunga, itu sesuatu yang kian tak terelakkan.

Sebermula, kata orang, adalah Kitab Suci. Buku kelima dari Pentateuchum memang mengamanatkan kepada bangsa Yahudi bahwa kepada seorang saudara mereka tak boleh meminjamkan apa pun dengan riba. Tapi kepada orang asing riba diizinkan. Soalnya kemudian: siapa yang bisa dianggap saudara, dan siapa orang asing?

Bagi orang Yahudi, garis pemisah itu jelas. Tinggal sebagai minoritas yang beberapa kali diancam kekerasan orang sekitarnya, mereka memandang setiap orang Eropa Kristen, tetangga yang banyak itu, sebagai asing. Dengan kata lain: kepada mereka itu orang Yahudi merasa halal memungut bunga. Lewat proses inilah akumulasi modal terjadi. Mereka memperoleh monopoli sebagai bankir, biarpun dengan bank yang tetap bernama "pribumi".

Sebaliknya bagi orang Eropa Kristen — yang juga harus menaati Perjanjian Lama. Bagi mereka, batas antara orang asing dan saudara tak pernah jelas benar. Gereja Kristen mengumandangkan tiap manusia adalah saudara, dan itu berarti riba tertutup rapat ke mana pun arahnya. Mereka memang perlahan-lahan kemudian mengikuti keniscayaan ekonomi, menyusul orang Yahudi yang telah berada jauh di depan....

Tapi hanya itukah sebabnya?

Nasib manusia tampaknya tidak pernah ditentukan oleh sebab yang tunggal. Minoritas Yahudi menjadi demikian penting kekuasaan ekonominya, dan di Jerman orang bicara tentang Hofjuden — orang-orang "Yahudi Istana" yang melicinkan jalan keuangan para pangeran — tapi mereka bukan satu-satunya yang beruntung dalam kekayaan. Pentateuchum toh tak berlaku bagi orang lain yang kebetulan jadi minoritas.

Minoritas, dalam sejarah ekonomi, lazimnya adalah sekelompok kecil pendatang yang memasuki wilayah orang lain dan tinggal di sana. Biasanya, suatu mekanisme sosial mendorong mereka ke pekerjaan yang perlu tapi kurang enak — misalnya meminjamkan uang dan terpaksa memungut riba, urusan yang "nista" itu. Dalam kondisi seperti itu pula mereka biasanya berkumpul, dalam kelompok sendiri, bantu-membantu, terutama bila risiko demikian besar.

Salah satu risiko besar ialah ketika mereka menjalankan suatu pekerjaan yang sulit, tapi cuma mereka yang biasanya mampu: berdagang jarak jauh. Hidup di negeri yang lain dari tanah kelahiran sendiri, mereka mengenal dua dunia — atau dua macam pasar. Pengenalan ini menyebabkan mereka yang paling siap jadi penghubung antara pasar tempat barang ditawarkan dan pasar tempat barang diminta. Apalagi pada masa lalu, jarak antara supply dan demand itu amat jauh.

Tapi dengan jarak seperti itu seorang pedagang bisa bermain dengan angka-angka yang fantastis, karena si pembeli tak tahu benar berapa harga pokok sebenarnya. Perdagangan jarak jauh ini oleh orang Jerman bahkan disebut seakan-akan kategori tersendiri, Fernhandel, mungkin karena ia merupakan lalu betas barang mewah yang tak mudah didapat: sutera Cina atau cengkih Maluku. Inilah bisnis besar yang sebenarnya, kata Sejarawan Fernand Braudel. Dalam jilid kedua karya besarnya tentang kapitalisme, The Wheels of Commerce, ia punya bab khusus tentang itu.

Tak heran bila ada sebuah sumber Cina pada tahun 1618 yang mengatakan, "Karena Sumatera terletak sangat jauh, siapa pun yang pergi ke sana untuk mencari keuntungan berlipat ganda." Tak heran bila para saudagar dari sana, yang tak banyak bisa berrgerak di negerinya sendiri yang dikuasai kaum Mandarin anti-pedagang, pada berangkat menempuh ombak. Keturunannva beratus-ratus tahun kemudian berdiam di sini. Mereka tak membaca Pentateuchum, mereka bukan orang Yahudi. Tapi mereka pun, yang berkali-kali terlibat dalam peristiwa tak enak dengan orang "pribumi", ternyata selalu diperlukan. Seperti tukang roti.

31 Maret 1984

Di ambil dari catatan pinggir 2

Selamat Tahun Baru Imlek


-fin-

Read More ..

2010-02-04

Jembatan Penyeberangan Pejalan Kaki Tertinggi di Dunia

Syahdan suatu ketika sedang pergi ingin main futsal bersama teman-teman SMA. Pergilah seorang kisanak ke tempat yang sudah disepakati.

Ketika akan sampai ke lokasi rendezvous, ada pemandangan yang cukup unik untuk diabadikan.


Lokasi: daerah kedoya, pinggir tol kebun jeruk.

Seperti kata pepatah, karena nila setitik rusak susu sebelahnya. Karena lupa pake titik, jadi kacau artinya. Mudah-mudahan bukan niat korupsi cat.


-fin-

Read More ..