2009-11-30

Seks

Pengetahuan saya yang pertama tentang seks bermula dengan cerita Ajisaka. Waktu itu umur saya 10 tahun. Sambil berbaring di balai-balai kayu jati tua yang sejuk, dengan asyik saya baca legenda orang Hindu yang memperkenalkan huruf ha-na-ca-ra-ka kepada orang Jawa itu.

Alkisah, suatu hari Ajisaka mampir ke sebuah rumah. Di rumah itu tinggal seorang janda. Sewaktu Ajisaka masuk, mbok rondho tengah menumbuk padi. Dalam ketekunan kerja, kainnya tersingkap di bagian paha. Melihat ini, mani Ajisaka mendadak tumpah. Seekor ayam betina yang ada di situ kemudian mematuk cairan itu, lalu ....

Ada yang tak saya pahami dalam cerita yang dimuat dalam majalah Panjebar Semangat yang berbahasa Jawa itu. "Apa itu mani?" tanya saya kepada seorang sepupu yang kebetulan lewat. Sang sepupu terhenti sejenak. Ia menengok ke kiri ke kanan lalu mendekat sambil berbisik-bisik menjelaskan — dengan diiringi isyarat gerak tangan yang tak seluruhnya saya pahami.

Toh sejak itu, pengetahuan saya tentang seks bertambah. Dari kisah Ajisaka, sumber informasi meluas ke banyak penjuru. Waktu itu memang tak ada cerita-cerita pornografis yang distensil, seperti yang kini diperjualbelikan di Jakarta secara sembunyi-sembunyi. Tapi ada saja yang bisa merangsang dan mengejutkan.

Pada suatu hari, bersama seorang kawan, saya memasuki sebuah gedung tua tak berapa jauh dari sekolah. Gedung itu bekas asrama sepasukan prajurit KNIL yang baru saja meninggalkan kota kami, entah ke mana. Seluruh ruangannya kosong. Gentingnya telah banyak yang pecah dan hilang. Dari sela-sela atap itu, cahaya pun masuk dan menerangi dinding-dinding kamar. Di sana, bagaikan sederet mural yang kasar, terpampang corat-coret arang yang belum pernah saya lihat seumur hidup saya yang 11 tahun itu: adegan cabul, kata-kata seru, dan mungkin juga kesepian. Pendeknya, seorang prajurit telah menumpahkan seluruh fantasinya.

Pengetahuan seks, dan rangsangan yang terbit karena hal itu, tampaknya memang bisa datang, memergoki kita, dari mana saja. Ia bisa masuk dari bisik-bisik teman, yang semalam mengintip tayuban di rumah mantri polisi. Ia bisa datang dari dongeng yang pada dasarnya malah tak ingin merusakkan akhlak: adegan Panji yang bercinta dengan para putri di tepi kolam; cerita berahi Batara Guru di dekat Dewi Uma; Kisah Daud yang menginginkan Bathseba dalam Injil.

Informasi seks, dan segala daya tarikannya, juga bahkan bisa didapat dari forum yang sangat sehat. Di kelas III SMP dulu, misalnya, suatu ketika guru agama kami mencoba menjelaskan apa perlunya mandi junub. Untuk itu ia terpaksa menyilakan para murid putri meninggalkan kelas sebentar — lalu secara kilat memberikan sejenis pendidikan seks. Apa yang diberikannya kelak kemudian ternyata sangat berguna, tapi waktu itu kami mendengarkan dengan cekikikan, setengah malu, setengah berdebar-debar.
Anak-anak, apa boleh buat, punya rasa ingin tahu. Mereka juga punya berahi sendiri. Dari sugesti erotis dalam pelajaran tentang setengah mandi junub, dari kisah Kudawanengpati atau adegan cinta Dewi Kunti, jalan pun terbentang ke mana saja: bisa ke majalah Penthouse, atau film biru pada video, atau novel murah yang dijual di hotel-hotel buat para pejalan yang kesepian.

Tapi mungkin juga akhirnya tak separah itu. Bukankah manusia tak seluruhnya jadi cabul, meskipun ekspresi pengalaman seksual bahkan sudah ada dalam lukisan Zaman Batu?

Sebab, sementara mereka menemukan yang jorok-jorok, mereka juga belajar hal-hal lain. Ada memang anak (setidaknya begitulah menurut berita) yang memperkosa sehabis ia menonton film yang merangsang syahwat. Tapi lebih banyak lagi anak yang membaca cerita seks stensilan, ternyata, kemudian tumbuh jadi orang baik-baik menurut ukuran normal. Berapa cerita porno yang pernah Anda serap? Dan blue film? Bahkan yang lebih seram dari itu? Mungkin Anda sendiri lupa. Saya juga lupa. Tapi seperti halnya Anda, para pembaca, saya merasa diri tak jadi bejat. Berdosa, memang, tapi bejat betul barangkali belum.

Dan itulah yang terpikir sering kali sebelum tidur. Bahwa dosa — suatu pelanggaran terhadap hubungan dan janji kita dengan Tuhan — sering tak bisa begitu saja diterjemahkan sebagai rusaknya hubungan sehari-hari dengan orang lain. Kita punya kemungkinan untuk mencegah dan memperbaiki kerusakan yang satu ini, tapi tentang dosa, kapasitas kita agaknya lebih terbatas.
Kita tak mudah menyucikan dan menyelamatkan tetangga-tetangga kita.

Mungkin kita akan mengalami frustrasi karena itu. Tapi barangkali juga tak perlu: kalau kita percaya, bahwa kita sendiri tak jadi jebol hanya karena sejumlah cerita bobrok, kita mungkin bisa percaya bahwa orang lain akan demikian pula. Termasuk anak-anak kita. Termasuk anak-anak saudara kita.

20 Oktober 1984

Di ambil dari catatan pinggir 2
Memperingati hari AIDS sedunia, 1 Desember.

-fin-

1 comment: